Rabu, 06 September 2017

Cerpen: Lemari

Sewaktu kecil aku mempunyai sebuah pengalaman.
Saat dewasa kau akan mengingat dan menertawakan semua pengalaman yang dimiliki. Semua orang aku yakin pasti punya satu pengalaman yang sulit di lupakan. Ingin di lupakan, tapi ingatan itu selalu datang seperti mimpi buruk, dan memaksa mu untuk mengingatnya. Seperti pengalaman ku ini, sebenarnya tidak ingin aku menulisnya, tapi aku sendiri tidak yakin apakah kejadian itu nyata atau tidak. Daripada memikirkannya ayo coba simpulkan sendiri cerita ku ini.
Pic


Pada saat itu aku kelas 4 sekolah dasar, masa yang paling menyenangkan karena aku bisa bermain-main sepanjang hari. Waktu itu siang hari dan terik sekali, aku bermain bola dengan teman ku. Kami hanya berdua, entahlah kenapa kita hanya berdua saat itu. Sebelum bermain kakek berpesan, agar jangan sampai aku bermain jauh-jauh dari rumah. Namun, bukan anak-anak kalau tidak melanggar dan mulai berpetualang. Aku ingat kita mulai berjalan jauh, membawa bola kami. Mencari tempat bermain yang lebih luas dan berumput.

Aku dan teman ku lebih suka lapangan berumput yang hijau dan luas. Sayangnya di sekitar tempat tinggal ku sudah tidak ada tempat semacam itu. Maka kita berdua berpetualang dan mencari. Di tengah perjalanan kami melempar-lepar bola yang kita bawa. Karena teralalu bersemangat aku melemparkan bola terlalu jauh. Bola itu masuk ke dalam sebuah rumah. Kami berdua menatap dari pagar samping rumah, dari celah pagar aku bisa melihat bola ku.

    Aku perhatikan rumah ini lagi, ternyata rumah ini rumah seram yang paling ditakuti anak-anak. Pasti kalian punya tempat yang di anggap seram bukan?, nah bagi kami, rumah ini salah satunya. Bukan seram karena cerita-cerita hantunya, tapi karena pemilik rumahnya. Pemilik rumah ini lebih seram daripada hantu. Pria yang sangat galak, kami berfikir pasti kami tidak mungkin meminta bola itu kembali. Teman ku pernah menyandarkan sepedahnya di pagar rumah ini, dan tau apa yang terjadi? Ia akan berteriak keras dan mengeluarkan kata-kata kasar.

Kakek pernah berpesan jangan bermain di area rumah pria ini. Tapi bola itu terlalu berharga bagi kami waktu itu, entah jika sekarang aku fikirkan lebih baik kehilangan bola itu daripada aku mendapatkan sebuah pengalaman yang mengerikan. Akhirnya kami memutuskan mengambil bola itu dengan cara mengendap-endap. Jangan protes dengan cara kami, karena saat anak-anak pemecahan masalah mu akan mengenyampingkan keselamatan dan sedikit tata krama. Tujuannya hanya satu, masuk dan ambil bola itu.

Kami masuk lewat pagar samping, karena pagar ini terbuat dari bata. Tubuh ramping kami memudahkan aksi ini. Semakin berdebar jantung, semakin aku merasa ini mengasikkan, ini seperti film-film petualangan yang aku lihat di televisi. Dari pagar, bola tidak jauh dari kami aku langsung mengambil bola itu dan menghampiri teman ku yang menunggu di dekat pagar. Tapi aku mendengar suara, seperti meminta tolong. Aku mulai penasaran dan berjalan mengendap-endap menuju pintu belakang. Teman ku mulai panik dan memanggil ku, menyuruhku kembali dan segera keluar dari rumah itu.

Sayangnya jiwa petualangan ku lebih besar, sekarang aku tau telivisi dan film tanpa dampingan orang tua tidak akan berakhir baik. Entah karena takut atau setia kaawan, teman ku mulai mengikuti di belakang. Kita berdua layaknya pencuri yang mengendap-endap. Tetapi suara meminta tolong tidak boleh di abaikan. Pemikiran ku kala itu, jika orang di rumah ini membutuhkan pertolongan dan kita datang menolong, pasti kami berdua akan menjadi terkenal di antara anak-anak perumahan. Pemikiran kekanak-kanakan dan bodoh, tapi itu aku pada saat kelas 4, kurasa itu pemikiran yang wajar.

Aku lihat pintu belakang sedikit terbuka, sambil aku jepit bola dengan tangan kiri ku,kurapatkan bola ke bagian pinggul agar tidak jatuh. Perlahan aku mendorong perlahan pintu itu. Di belakang teman ku sudah menarik-narik ujung kaos ku. Aku berusaha tidak menimbulkan suara, tapi teman ku sepertinya terlalu takut dan mulai mengeluarkan suara meringik yang menjengkelkan.

    Pintu belang ini menuju dapur dan tempat makan, tidak ada orang di sini. Tapi aku bukannya keluar dan pergi, malah aku mencari sumber suara yang aku dengar. Perlahan aku mulai memasuki ruang tengah, teman ku di belakang semakain mengeratkan genggamannya di kaus ku. Perlahan suara minta tolong makin terdengar, ingin aku berlali cepat dan menghampiri suara wanita meminta tolong. Tapi seketika lari kecil ku harus kuhentikan. Aku mulai merasa keputusan masuk ke rumah ini adalah hal bodoh.

    Setelah ku dengar baik-baik, itu tidak hanya suara minta tolong biasa, ada suara rintihan atau tangisan yang ikut terdengar. Waktu itu yang aku fikirkan apa jangan-jangan ini suara setan? Setan perempuan. Antara takut, penasaran, jiwa petualang, dan bayangan akan terkenal satu kompleks pereumahan, perlahan aku mulai maju, mengabaikan teman ku yang mulai ikut menangis di belakang.

    Aku memandang sekeliling semua pintu kamar tertutup, tapi suara rintihan itu masih terdengar. Aku rasa ada sesuatu di salah satu kamar itu, entah setan perempuan atau apa. Di kanan ku ada dua kamar yang bersebelahan, aku memilih kamar dengan pintu tertutup. Perlahan aku maju, makin ku depak erat bolaku. Teman ku hanya ikut di belakang, mengekor pasrah. Perlahan aku buka, saat celah pintu mulai melebar, menyeruak bau aneh. Aku tidak tau bau apa pada saat itu, baunya seperti ikan, ikan busuk sepertinya. Tapi saat aku menceritakan ini lagi, bau itu masih tercium, hidung dan otak ku menolak lupa.

    Aku lihat sesosok perempuan berambut panjang, duduk di tepi ranjang, sinar matahari dari jendela yang jadi penerang kamar ini. Wajahnya tak terlihat tertutup rambut. Aku putuskan untuk mendekat, entah apa yang ada di otak ku kala itu, seharusnya aku lari keluar rumah dan bercerita pada kakek, tapi nyatanya aku semakin maju. Aku baru sadar, kamar ini seperti kamar ku, berantakan, bahkan lebih parah ada bau aneh yang menguar di udara. Aku mulai memanggil perempuan itu, Ibu, aku memanggilnya ibu berkali-kali. Teman ku sepertinya sudah menangis di belakang, entah takut atau marah karena aksi bodoh ku.

    Saat aku memanggil untuk sekian kalinya, perempuan itu menatapku. Aku kaget, baru pertama kalinya aku melihat wajah penuh luka, biasanyanya aku hanya melihat dari televisi. Mataku yang sudah bulat, semakin membulat kala itu, bola yang kupegang erat dari tadi langsung telepas. Aku mulai bergerak mundur, seperti yang selalu aku katakan rasanya menyesal baru datang dan itu datang belakangan.

    Perempuan itu mengucap tolong dengan suara sangat pelan, aku hanya tergagap dan menjawab bagaimana, bagaimana, aku binggung harus bagaimana. Keluar, ceritakan apa yang kau lihat, itu yang ia katakan berulang-ulang. Pada dasarnya saat itu aku hanya anak kelas 4, belum banyak film dan sinetron yang aku lihat, aku sangat binggung harus melakukan apa. Tapi tiba-tiba teman ku semakin keras menangis dan mengatakan kita harus keluar. Ia terus menunjuk-nunjuk ke arah jendela. Pria itu datang, pria galak seperti setan itu datang.

    Jika kita keluar saat ini, pasti pria itu akan tau, aku mulai takut, ku lihat teman ku yang sudah pucat. Daripada keluar aku menarik teman ku masuk ke dalam lemari. Saat di rumah aku suka sekali bersembunyi di lemari, biasanya aku akan mengagetkan orang-orang rumah yang akan menggambil pakaian. Tapi saat ini, perasaanku tidak terasa senang, tidak senang sama sekali.

    Teman ku hanya menangis dan mengikuti ku, sekarang kita ber dua ada di lemari, aku berusaha menyembunyikan, aku masuk ke sela-sela baju yang di gantung. Aku takut, sama takutnya dengan teman ku. Aku hanya bisa diam, dan menunggu saat yang tepat untuk keluar. Di dalam lemari ini gelap, aku sudah terbiasa karena ini permainan yang paling aku suka di rumah. Tetapi kali ini beda, aku bersembunyi dan tidak berharap ada yang membuka lemari ini.

    Aku mendengar langkah seseorang mendekat, dan mulai terdengar teriakan dan tangisan perempuan itu, ada sura seperti barang jatuh. Teman ku semakin menggigil ketakutan, aku tutup mulutnya agar tidak terisak. Sensai aneh yang baru pertama aku rasakan, ini lebih mendebarkan dari mengerjakan soal matematika di depan kelas, lebih mendebarkan saat ternyata PR yang aku kerjakan tertinggal di rumah, debaran ini lebih lebih cepat, lembih membuat ku takut.

    Tiba-tiba suara bantingan pintu terdengar jelas, aku mulai menajamkan pendengaran. Sepertinya kondisi kamar sudah tenang, perlahan aku mendengar suara perempuan itu lagi, keluar…itu yang aku dengar. Pelahan aku dorong pintu lemari dari dalam, tangan kanan ku sudah sibuk menggandeng tangan teman ku. Kita berdua harus keluar sekarang.

    Permpuan itu, lebih mengerikan dari sebelumnya, separuh wajahnya berwarna merah, aku terlalu takut untuk melihatnya lebih dekat, ia terus mengugumamkan kata yang sama, keluar. Perempuan itu membuat ku takut, tapi pria pemilik rumah ini lebih menakutkan. Dengan perlahan aku keluar, menarik teman ku, kita ber dua lebih mengendap-endap dari sebelumnya. Saat di abang pintu, aku melihat pintu belakang yang terbuka, kita bisa keluar melalui celah pagar seperti tadi. Tapi rasa takut ini lebih besar daripada rasa penasaran yang ada pada saat pertama kali datang. Aku mulai berlari cepat, menuju celah pagar, teman ku aku paksa keluar terlebih dahulu. Saat separuh badan ku sudah di luar, dan untuk terakhir kali aku melihat pintu belakang, pria itu berdiri, menatap ku dengan wajah seram, aku yakin hantu atau setan pasti seseram ini. Dengan cepat aku memaksa tubuhku keluar, takut setengah mati rasanya, lebih menakutkan daripada di kejar anjing. Aku mulai menangis dan teman ku menangis lebih keras dengan menarikku. Pria itu lari mengejar menuju kami ber dua, tatapan marahnya sangat membuatku ketakutan. Dia berteriak-teriak tidak jelas, dan kami ber dua, sambil menangis dan bergandengan tangan berlari pulang ke rumah.

    Aku sangat ingat tatapan bingung dari kakek saat itu, melihat aku dan teman ku menangis dan meminta kakek untuk mengunci semua pintu. Di saat itulah, aku ceritakan semua yang aku lihat, kepada kakek, kakek sangat terkejut dan bertanya berkali-kali apakah aku berbohong atau tidak. Ow, ayolah untuk apa aku mengarang cerita dengan tangisan ketakutan, lebih baik baik merajuk meminta sesuatu daripada megarang cerita mengerikan.

    Di hari berikutnya perumahan kita ramai, ada banyak polisi yang datang, ada garis-garis kuning di rumah pria galak itu. Aku masih gemetar jika melihat rumah itu. Orang-orang berkerumun, aku menyelinap karena melihat kakek ku disana. Aku melihat beberapa polisi membawa kantong besar berwana kuning, aku tidak tau apa isinya, aku perhatikan kantong kuning yang lewat dihadapanku. Aku hanya diam tidak mau menebak apa isinya, jika di berita kriminal biasanya intu berisi jenasah, aku cukup tau dan tidak mau tau jenasah siapa di dalamnya.

    Kulihat kakek dan seorang polisi menghampiri ku, polisi itu memberiku bola. Yaaa bola di dalam kantung plastik transparan, itu bola ku. Bola yang menghantarkan ku pada perempuan di dalam rumah ini. Kakek dan polisi itu berbicara padaku, tapi aku tidak dengar, aku terlalu terpaku melihat pria galak yang ada di belakang, dia berjalan menuju mobil, aku melihat matanya, mata yang seram yang sama.


    Sejak saat itu aku berusaha tidak mengingat semua, kakek tidak menjelaskan apapun dan aku juga tidak mau tau tenang yang tentang perempuan dan pria itu. Ibu sekarang lebih perhatian, entah kenapa setiap aku ingin bermain keluar ibu selalu menahanku, atau menyuruh bermain di rumah saja. Tapi sejak kejadian itu, jiwa petualangan ku rasanya hilang entah kemana. Aku teralu takut melewati rumah itu lagi, terlalu takut jika bertemua pria itu lagi. Sampai dewasa ini, entah kenapa jika menceritakan ini, aku selalu teringat, tatapan perempuan itu, tatapan pria itu, dan lemari tempat aku bersembunyi. Sampai saat ini aku masih ragu kejadian saat kelas 4 itu nyata atau tidak, apa aku yang menolak itu nyata.

~Reyko~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar